Selasa, 31 Januari 2012

Kerjasama Antar Daerah dalam Pengelolaan Infrastruktur

A.        Model Kerjasama Antar Pemerintah Daerah


Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu perbincangan yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Pemerintah RI menyadari perlunya kerjasama dalam mempercepat pembangunan, hal ini nampak dari beberapa produk hukum Petunjuk dan Pedoman kerjasama sebagai berikut :
  1. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
  2. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah
  3. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah dan
  4. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor : 50 Tahun 2007 tentang Kerjasama antar Daerah.

Alasan dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.
3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan.
4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.
5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.
6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan.
7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh.

B.                 Bentuk dan Metode Kerjasama
Di masa mendatang, karena kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan maka harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan menginstitusionalisasikan kerjasama antara daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya.
Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi
(1) intergovernmental service contract
(2) joint service agreement, dan
(3) intergovernmental service transfer (Henry, 1995).
Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, infrastruktur transportasi umum, pemerintahan dan keuangan public.
Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu
(1) Apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau
(2) Apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak, melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut.
Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.

C.                Prinsip Kerjasama
Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara luas. Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh.
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (Edralin, 1997). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu:
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh.
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut.
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.

A.                Kerjasama Antar Daerah di Indonesia

1.                  Permasalahan Transportasi Indonesia
Ledakan penduduk selalu menjadi isu yang dikaitkan dengan berbagai permasalahan yang ada pada suatu wilayah. Hal ini dikarenakan ledakan penduduk akan meningkatkan tingkat kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan transportasi. Penduduk akan melakukan mobilitas setiap waktunya, mobilitas yang dimaksud tidak hanya sekedar perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, namun mobilitas disini lebih ditekankan pada mobilitas yang dimaksudkan adalah pergerakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan hidup. Manusia akan pergi ke suatu titik dimana ia akan mendapatkan kebutuhannya yang  berada di beberapa lokasi berbeda sehingga diperlukan alat transportasi. Transportasi menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia sehingga dibutuhkan sebuah sistem pelayanan transportasi yang baik untuk dapat senantiasa melayani kebutuhan manusia. Namun pada kenyataannya, masih ada berbagai permasalahan transportasi yang dapat menghambat aktivitas manusia.
Permasalahan transportasi baik darat, laut, dan udara secara umum hampir sama, yaitu kurangnya sarana dan prasarana transportasi dibandingkan dengan kebutuhannya, serta buruknya kondisi sistem transportasi Indonesia. Dalam periode 5 tahun (19962000) jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah 568 perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5 % p.a). Sementara kekuatan armada pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-rata 11.3 % p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode tersebut, volume perdagangan laut tumbuh 3 % p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945 ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000), atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestik (antar pelabuhan di Indonesia). Pada tahun 2000, jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup muatan domestik sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.
Saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena kelemahan di semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal. Di bidang muatan internasional (ekspor/impor) pangsa perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3 % to 5%, dengan kecenderungan menurun. Proporsi ini sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada pelayaran nasional.
Dalam perkembangan jasa transportasi udara, Indonesia telah mengikuti prinsip dan teknik pemanduan angkutan udara internasional yang disusun ICAO (International Civil Aviation Organization). Implikasi pelaksanaan ketentuan internasional terhadap aspek keselamatan penerbangan adalah pengelola bandara harus memenuhi persyaratan pembangunan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta pelayanan pemanduan navigasi penerbangan (Air Traffic Services/ATS) yang meliputi Aeronautical Flight Information Services (AFIS), Aerodrome Control (ADC), Approoach Area (APP), dan Area Control Centre (ACC).
Sampai saat ini, belum semua bandara di Indonesia berstandar keselamatan penerbangan dan pengoperasian fasilitas bandara internasional, hanya 7 dari 187 bandara. Dari 187 bandara hanya 10 bandara yang dapat menarik keuntungan dari jasa transportsai udara, sisanya masih merugi. Oleh karena itu meskipun dengan UU otonomi daerah, bandara di daerah diserahkan pengelolaannya pada pemerintah daerah setempat belum dapat dilaksanakan karena besarnya beban investasi dan operasionalnya.
Untuk itu, solusi pengelolaan yang tepat bagi daerah yang belum dapat memperbaiki sistem transportasi akibat besarnya biaya adalah dengan kerjasama antar daerah. Kerjasama antar daerah ini dilakukan untuk ‘membagi beban’ daerah satu dalam pengembangan sistem transportasi baik dari segi ekonomi maupun sosial dengan daerah lainnya. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai contoh model kerjasama penyediaan infrastruktur transportasi yang sudah berjalan di Indonesia.

2.                  Contoh Kerjasama Antar Daerah di Indonesia
Kerjasama antar daerah menjadi isu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah karena pemenuhan kebutuhan masyarakat di daerah tidak semuanya dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif dalam batas jurisdiksi wilayah administratif satu daerah semata. Otonomi daerah telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial yang semakin tinggi dan membuat jarak yang semakin melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah fungsional. Hubungan sosial dan ekonomi secara fungsional seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah administratif satu daerah otonom.

2.1              Kerjasama Pengelolaan Transportasi Darat
Kerja sama pengelolaan terminal Purabaya, yakni terminal regional milik Pemerintah Kota Surabaya yang terletak di desa Bungurasih Kabupaten Sidoarjo, merupakan pendekatan kerjasama Pemerintah Kota Surabaya dan Pmerintah Kabupaten Sidoarjo. Perundingan yang dilakukan kedua belah pihak mendapatkan fasilitas penuh dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang berhasil mencapai kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama ini ditungkan dalam Surat Gubernur, dimana pemda Kota Surabaya memperoleh wewenang untuk mengelola terminal regional di Bungurasih, Kabupaten Sidoarjo. Kerjasama ini menjembatani implementasi konsep pengembangan regional Gerbangkartosusilo dan menggantikan lokasi terminal regional lama milik Pemerintah Kota Surabaya di Joyoboyo.
Kerjasama lainnya dalam pengelolaan terminal adalah Terminal Landungsari yang merupakan terminal regional milik Pemerintah Kota Malang yang berlokasi di desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang secara geografis terletak lebih kurang 3 km sebelah barat batas wilayah Kota Malang. Kesepakatan untuk mengembangkan terminal regional Landungsari secara kolaboratif dicapai oleh Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang pada tanggal 11 November 1991.
Dalam penggunaan pendapatan dan pembagian hasil, seperti yang tercantum pada undang-undang perjanjian kerjasama yakni :
a.       40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kota Malang
b.      40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kabupaten Malang
c.       20 % pendapatan digunakan untuk biaya operasional
Selain itu, Pemerintah Kota Malang juga berhak mengelola terminal Landungsari dan melakukan pemungutan atas obyek retribusinya dan penerapan tarif retribusi menggunakan peraturan Daerah Kota Malang. Setiap bulannya Pemerintah Kabupaten Malang selalu mendapatkan laporan realisasi pendapatan dari Pemerintah Kota Malang berdasarkan bukti setoran ke Kas Daerah.
Selain itu, pembangunan jalan tol Belmera (Tanjung Morawa – Belawan) juga tidak terlepas dari kerjasama Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Deli Serdang dan Pemerintah Provinsi sumatera Utara walaupun pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan tertentu.


2.2              Kerjasama Pengelolaan Transportasi Udara
Di daerah Sumatera Utara, dalam usaha pelayanan transportasi udara dilakukan kerjasama untuk mengaktifkan kembali Pelabuhan Udara Pinongsori yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pelabuhan Udara Aek Godang yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Kerjasama ini meliputi Pemerintah Kota Sibolga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, Pemerintah Kota Padang Sidempuan, Pemerintah Kabupaten MAndailng Natal. Kedua pelbuhan udara ini sebelumnya  kurang difungsikan karena pemerintah daerah di mana pelabuhan udara terletak mengalami kesulitan dalam penyediaan dana operasional. Dengan adanya kerjasama dalam pendanaan pengelolaan Pelabuhan Udara Pinangsori di Tapanuli Tengan dan Lapangan Terbang Aek Godang di Tapanuli Selatan telah membawa keuntungan bersama dan dana pengelolaan dapat diatasi.

Beberapa contoh kerjasama regional dalam bentuk kelembagaan:
1.    Daerah yang berdekatan dalam satu wilayah provinsi
·      Kartomantul,
·      Barlingmascakeb,
·      Subosukawonosraten,
·      Sapta mitra pantura (Sampan),
·      Pakujembara (dalam tahap rintisan),
·      Germakertosusilo (sebagai pengembangan Gerbangkertosusilo)
2.    Antar wilayah provinsi
·      Ratubangnegoro (Jatim-Jateng),
·      Karisma Pawirogo (Jatim- Jateng),
·      Pawonsari (Jatim-Jateng-DIY) :
Pelaksanaan pembangunan daerah yang diorientasikan pada pengembangan suatu wilayah, dalam perkembangannya dihadapkan pada permasalahan yang mengharuskan dilakukannya kerjasama dengan daerah lain. Adanya permasalahan perbatasan antar kabupaten/  propinsi dan potensi sumber daya alam yang belum dikelola serta didukung oleh adanya UU No. 22 tahun 1999, melatarbelakangi adanya kerjasama antara kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunungkidul (KAD Pawonsari) yang bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
Di kabupaten Gunungkidul instansi perhubungan merupakan suatu dinas tersendiri yaitu Dinas Perhubungan sedangkan di Wonogiri hanya merupakan Subdin Perhubungan yang merupakan bagian dari Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya (DPPSB). Adanya perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan sistem penganggaran, yang berujung pada perbedaan prioritas di masing-masing kabupaten. Sehingga sampai saat belum ada trayek perbatasan antara Kabupaten Wonogiri-Gunungkidul.
Peluang ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menggunakan kendaraan plat hitam untuk angkutan jarak pendek. Disatu sisi hal ini menguntungkan masyarakat karena terlayani kebutuhan pelayanan angkutan tetapi disisi lain juga merugikan karena kendaraan plat hitam tidak bisa dikenai peraturan tarif, sehingga tarif angkutan di perbatasan menjadi mahal dan tidak terkendali. Walaupun melanggar peraturan, angkutan plat hitam ini tidak ditindak mengingat hal diatas. Untuk angkutan jarak jauh AKAP (antar  kota antar propinsi) pengusaha bus tanpa melihat konteks KAD Pawonsari, memberikan pelayanan rute Pawonsari, yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pergi ke Yogyakarta. Bagi masyarakat kabupaten Pacitan trayek ini sangat menguntungkan. Apabila dulu Pacitan- Yogyakarta (Pacitan-Wonogiri-Solo-Yogyakarta) ditempuh dalam waktu 5 jam, sekarang dengan adanya trayek ini (Pacitan-Wonogiri-Yogyakarta) ditempuh dalam waktu 2-3 jam.
Di dalam KAD Pawonsari belum adanya kewenangan pada Sekretariat KAD Pawonsari untuk memaksa satu kabupaten tertentu untuk menjalankan kesepakatan KSO secara optimal. Walaupun sudah ada draft surat kuasa dari Bupati Pacitan dan Bupati Gunungkidul untuk membuat/melaksanakan kebijakan dalam koridor kerjasama antar daerah Pawonsari.  Akan tetapi hanya Bupati Gunungkidul yang bersedia menandatangani surat kuasa tersebut. Untuk menghormati kesetaraan dan menghormati kewenangan masing-masing daerah, Sekretariat KAD Pawonsari hanya diberi wewenang melakukan koordinasi. Meskipun demikian Sekretariat dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada para Bupati mengenai perkembangan pelaksanaan kerjasama yang telah disepakati. Sekretariat juga dapat mengajukan pertanyaan kepada Bupati mengenai proses perkembangan kesepakatan kerjasama.
Untuk yang terakhir belum pernah dilaksanakan karena yang sudah dilaksanakan selama ini Sekretariat hanya mengundang Dinas yang terkait dengan adanya KSO untuk dimintai laporan tentang hasil dari kerjasama operasional tersebut. Dalam penyelesaian masalah, KAD Pawonsari seringkali terbentur pada birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten, Propinsi dan Pusat, terutama pada peraturan/perundang-undangan yang menghambat penyelesaian masalah. Misalnya permasalahan angkutan perbatasan terhambat oleh PP 41/1993 tentang Angkutan Jalan, yaitu penetapan ijin trayek dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dan harus diusulkan oleh 2 kabupaten yang berbatasan.
Keuntungan yang diperoleh dari lembaga ini adalah meningkatnya kelancaran transportasi di wilayah Pawonsari, meningkatnya pelayanan angkutan bagi masyarakat Wonogiri dan Pacitan yang melakukan perjalanan ke Yogyakarta dan sebaliknya, rute menjadi lebih pendek. Sementara kekurangannya adalah adanya perbedaan pengalokasian dana sebagai biaya pendukung  program. Hal ini terkait dengan peraturan yang mengharuskan dua daerah yang berbatasan bersama-sama mengusulkan trayek perbatasan ke pusat untuk diterbitkan ijin trayeknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar