Selasa, 31 Januari 2012

Belajar Dari Luar Negeri: Konsep Perencanaan Jalur Sepeda

a.        Amsterdam
Amsterdam  adalah salah satu kota yang disebut sebagai ‘cycle-friendly city’ atau kota yang nyaman bagi para pengguna sepeda. Bahkan, menurut predikat teratas yang dikeluarkan oleh Virgin Vacation, Kota Amsterdam menyandang peringkat pertama sebagai ‘11 Most Bicycle Friendly Cities in The World’ di atas peringkat Kota Portland,Oregon dan Copenhagen, Denmark.
40% pergerakan lalu lintas yang ada di Kota Amsterdam diciptakan oleh sepeda, ditunjang dengan 90% jalur jalan yang aman bagi pengendara sepeda (Jonkhoff, 2011). Hal ini berpengaruh postif terhadap warga Kota Amsterdam sendiri yang menciptakan gaya hidup yang lebih aktif dan meningkatkan kesehatan penduduk. Untuk mendukung hal ini, pemerintah telah membangun jalur sepeda yang aman, nyaman, serta terintegrasi dengan moda transportasi lain. Pengembangan jalur sepeda telah menjadi inti infrastruktur transportasi di Amsterdam. Beberapa infrastruktur pendukung yang telah ada antara lain tempat parkir sepeda, tempat peminjaman sepeda publik, adanya aturan hukum yang ketat untuk melindungi pengendara sepeda, serta kultur bersepeda yang begitu kuat ada di masyarakat Kota Amsterdam.
Kebijakan transportasi Kota Amsterdam berfokus pada pengembangan moda transportasi kendaraan tidak bermotor (non-motorized modes of transport). Perhatian pemerintah untuk mewujudkan kota yang bebas dari polusi udara untuk peningkatan kualitas hidup warga masyarakat sangat tinggi, terbukti dari besarnya peran pengembangan jalur sepeda dan infrastruktur pendukungnya dalam rencana pengembangan transportasi Kota Amsterdam. Pada tahun 2006, untuk mendukung hal ini, fokus pemerintah Kota Amsterdam dalam pengembangan sepeda terletak pada tingkat keamanan pengguna sepeda (angka pencurian sepeda), pembangunan fasilitas parkir sepeda yang aman, serta penggunaan lalu lintas yang aman bagi pengguna sepeda.
Adanya perhatian pemerintah pada pengembangan penggunaan sepeda di Tahun 2006, diikuti dengan disusunnya rencana kebijakan “Choosing for Cyclist: 2007-2010”. Implementasi rencana kebijakan ini telah menghasilkan peningkatan fasilitas parkir sepeda, turunnya angka pencurian sepeda, peningkatan keamanan berlalu-lintas, peningkatan integrasi jalur sepeda dengan moda transportasi lain, serta meningkatkan jumlah masyarakat muda untuk bersepeda. (Buehler, 2010)
Berikut ini merupakan beberapa strategi perencanaan ruang Kota Amsterdam untuk mengefektifkan jalur sepeda:
1.      Peningkatan fasilitas bersepeda
Implementasi rencana kebijakan “Choosing for Cyclist: 2007-2010” diwujudkan dengan pembangunan fasilitas sepeda seperti dibangunnya jalur sepeda terpisah di ruas-ruas jalan Kota Amsterdam secara besar-besaran yang diikuti oleh pembangunan infrastruktur pendukungnya seperti ruang parkir sepeda dan peminjaman sepeda.
2.      Pembatasan jumlah kendaraan bermotor (mobil)
Saat ini, di Kota Amsterdam, kendaraan bermotor dilarang untuk masuk ke pusat kota. Insentif dan Disinsentif sangat ditegakkan disini, karena banyak jalan di Kota Amsterdam yang hanya disediakan satu arah untuk mobil, namun dapat bebas digunakan untuk dua arah bagi sepeda. Selain itu, area parkir mobil semakin dikurangi dan biaya parkir di tempat-tempat parkir yang tersedia semakin mahal. Hal ini merupakan salah satu strategi yang berhasil menekan angka penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Kota Amsterdam.
3.      Pengintegrasian parkir sepeda dengan transportasi umum
Stasiun di Kota Amsterdam memiliki ruang parkir sepeda yang sangat luas, sehingga masyarakat dapat menggunakan sepeda dari rumah untuk kemudian berganti moda ke kereta api untuk berangkat ke lokasi tujuan dengan sangat mudah. Selain itu, Kota Amsterdam juga memiliki program “Park and Bike”, yaitu masyarakat dapat menggunakan kendaraan bermotor pribadi hingga di pinggiran kota untuk kemudian di parkirkan di kantung parkir yang tersedia dan melanjutkan perjalanan dengan sepeda yang telah disediakan di tempat peminjaman sepeda.
4.      Promosi penggunaan sepeda
Promosi penggunaan sepeda dilakukan pemerintah dengan melakukan pelatihan penggunaan sepeda pada anak-anak, yang biasanya diikuti oleh anak berumur 3-4 tahun. Hal ini dapat memupuk rasa cinta terhadap sepeda sejak dini.

a.        Tokyo
Area Metropolitan Tokyo memiliki populasi penduduk 12,8 juta dengan jumlah kepemilikan sepeda mencapai 8,4 juta. Kepemilikan sepeda yang begitu besar di Tokyo, Pemerintah Kota Tokyo (Tokyo Metropolitan Government) memformulasikan Rencana “Safe Bicycle Riding Promotion Plan” pada Tahun 2007. Rencana ini mengandung empat inti utama, yaitu:

·         Mengurangi parkir sepeda ilegal
Dilakukan dengan cara kerjasama dengan stasiun kereta api di Tokyo untuk membuat parkir sepeda legal di sekitarnya. Bagi stasiun kereta api yang tidak memiliki lahan kosong di sekitar yang dapat digunakan sebagai lahan parkir dapat membangun area parkir bawah tanah.
  
·         Menambah jumlah jalur sepeda
Jalur sepeda dibangun untuk meningkatkan jumlah pengguna sepeda serta memberikan kenyamanan bagi pengguna sepeda. Pemerintah Tokyo mengusahakan pembangunan jalur sepeda eksklusif yang terpisah dengan kendaraan lain. Namun, pada area-area yang tidak dimungkinkan pembangunan jalur sepeda terpisah, pengguna sepeda dapat menggunakan trotoar (sidewalk).

·         Meningkatkan etika berlalu-lintas pengguna sepeda
Peningkatan etika berlalu-lintas dilakukan pemerintah Tokyo sejak Tahun 2007 dengan pendekatan pendidikan. Pelajaran etika bersepeda dimasukkan dalam kurikulum sekolah sehingga sejak kecil, anak-anak di Tokyo telah memahami etika berlalu-lintas yang baik sehingga dapat menciptakan suasana lalu-lintas yang aman dan nyaman.

·         Meningkatkan fasilitas jalur sepeda dan keamanannya
Peningkatan keamanan pengguna sepeda dilakukan dengan cara penegakan aturan dengan pelarangan kendaraan bermotor pada area sekitar stasiun atau membatasi jumlah kendaraan bermotor dengan menjalankan rute satu arah pada ruas jalan tertentu. Hal ini dapat meningkatkan keamanan pengendara sepeda saat berkendara di jalan raya serta menekan jumlah pengguna kendaraan bermotor pribadi.





Karakter Golongan Darah


  • Cara Belajar


  • Cara menghadapi masa krisis

  • Isi hati

Basic Needs Strategy

Strategi basic needs muncul pada tahun 1970, melalui World Employment Program yang dicanangkan oleh ILO (International Labour Organization). Ide awal dari strategi basic needs adalah memprioritaskan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar dan jumlah orang bekerja. Program ini sejalan dengan program United Nation (UN) dan International Monetary Fund (IMF) yang saat itu juga sedang memprioritaskan peningkatan jumlah orang bekerja. Program ILO ini sudah merupakan pengembangan program yang disesuaikan dengan kebutuhan negara berkembang.
a.         Sejarah Strategi Basic Needs
Ide awal strategi Basic needs muncul pada pertengahan tahun 1970, dalam persiapan World Employment Conference. Strategi ini didasarkan pada literatur psikologi Albert Maslow, Psychological Review, “A Theory of Human Motivation” pada bulan Maret 1942, yang menyebutkan hierarki lima kebutuhan dasar, mulai dari kebutuhan psikis hingga kebutuhan aktualisasi diri. Pada tahun 1950an, konsep ‘minimum needs’ dikembangkan oleh Pitambar Pant (Indian Planning Commission). Namun hal ini tetap tidak bisa menjadikan strategi Basic needs sebagai pendekatan utama dalam pembangunan walaupun strategi ini telah memberikan konsep yang jelas mengenai penanggulangan kemiskinan.
Pada tahun 1970an, konsep ini secara tiba-tiba diaktualisasikan pada tiga lokasi berbeda, yaitu di Amerika Latin (Bariloche Project), Dag Hammarskjold Foundation “What Now?”, dan dalam ILO World Employment Program. Konsep ini menjelaskan bahwa program pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah orang bekerja tidak serta merta dapat mengurangi angka kemiskinan, namun juga harus diikuti dengan pemenuhan kebutuhan dasar tiap individu (sesuai dengan konsep Maslow).

b.        Implementasi Strategi Basic Needs

Strategi Basic needs diimplementasikan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, perumahan, transportasi publik yang nyaman, termasuk juga peningkatan jumlah orang bekerja dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Strategi ini muncul akibat ‘kekecewaan’ terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai indikator pembangunan yang tidak juga dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya hubungan yang jelas antara indikator-indikator pertumbuhan ekonomi dengan kurangnya pencapaian kebutuhan dasar sebagai ukuran kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan pembangunan yang dipercaya mampu mengatasi masalah kemiskinan ternyata hingga saat ini belum terbukti. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita tinggi tidak menjamin turunnya angka kemiskinan di negara tersebut. Seringkali yang terjadi, peningkatan pendapatan perkapita hanya dinikmati oleh segelintir orang. Peningkatan pendapatan pesat hanya terjadi pada sebagian kecil golongan tertentu, sedangkan sebagian besar masyarakat hanya tumbuh sekitar satu atau dua persen saja. Ketimpangan distribusi pendapatan inilah yang semakin memperburuk kemiskinan yang sudah terjadi, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Bukti-bukti di atas mendorong timbulnya strategi baru untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan. Kemiskinan seringkali didefinisikan sebagai kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, oleh karena itu strategi baru yang dimunculkan adalah dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar. Dasar pemikirannya adalah, apabila seluruh masyarakat termasuk 20% penduduk termiskin sudah cukup makan, memiliki perumahan yang layak, memiliki jaminan kesehatan dan pendidikan yang tinggi, maka pengeluaran kebutuhan akan berkurang dan akan meningkatkan saving sebagai salah satu modal kesejahteraan. Penduduk yang sejahtera juga dapat memiliki dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara.
Penerapan strategi basic needs ini dianggap sebagai sebuah modifikasi perencanaan konvensional. Jika perencanaan konvensional lebih memprioritaskan pada pertumbuhan ekonomi, maka strategi basic needs lebih memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan dasar. Strategi ini didukung karena dianggap dapat menyelamatkan penggunaan sumber daya yang berlebihan karena penggunaan sumber daya difokuskan untuk produksi kebutuhan dasar saja, sedangkan produksi kebutuhan non-kebutuhan dasar dapat ditekan. Namun, strategi ini bertentangan dengan keinginan pribadi produsen yang menginginkan produksi sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kebutuhan implementasi strategi basic needs ini memerlukan perubahan menyeluruh dari berbagai aspek. Perubahan sistem pemerintahan menjadi lebih ter-desentralisasi dengan adanya inisiatif mandiri dari kelompok-kelompok masyarakat di tingkat lokal yang mengetahui kebutuhan spesifik dan cara pemenuhan kebutuhan tersebut. Pemerintah disini dibutuhkan untuk menjaga standar harga barang kebutuhan dasar agar tetap dapat diakses oleh masyarakat miskin. Selain itu, pengubahan sistem pemberian upah tenaga kerja berdasarkan work point bukan harian diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
c.         Perkembangan Strategi Basic Needs  Saat Ini

Strategi basic needs yang sudah ditemukan dan mulai diimplementasikan pada tahun 1970an ini dianggap memiliki daya tarik yang cukup untuk mengubah sistem pembangunan negara untuk penanggulangan kemiskinan. Namun hingga saat ini, strategi basic needs belum diterapkan oleh negara-negara di dunia. Apa yang terjadi?
Dasar-dasar strategi basic needs, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan jumlah orang bekerja dan sebagainya telah tersingkirkan oleh krisis ekonomi dunia pada tahun 1980an. Kebijakan-kebijakan basic needs tergantikan oleh kembalinya laissez-faire. Kebijakan ini dipandang mampu memulihkan perekonomian negara, karena ‘keajaiban pasar’ mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Konsep ini kemudian berkembang dengan konsep pembangunan tanpa pemerintah dan globalisasi tanpa adanya pemerintahan skala intenasional yang akrab disebut dengan ‘Washington Consenssus’.
Konsep dasar basic needs kembali hadir pada tahun 1990an pada pendekatan Human Development Report dimana manusia memiliki standar minimum yang perlu dipenuhi. Namun pendekatan ini masih belum sepenuhnya mengadopsi konsep basic needs karena kurang memperhatikan konsep makro-ekonominya.
Saat ini, untuk pola penanggulangan kemiskinan di Indonesia, strategi basic needs ini dapat dijadikan sebagai konsep dasarnya. Namun hendaknya pemerintah Indonesia perlu bersiap-siap dahulu karena strategi ini dianggap dapat ‘menggoyang’ kecenderungan pola pemerintahan Indonesia yang tersentralisasi.  Pola-pola pembangunan mandiri di tingkat lokal yang sudah mulai muncul akhir-akhir ini perlu didukung oleh pemerintah agar masyarakat tingkat lokal dapat secara aktif mengusahakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya sehingga konsep basic needs strategy ini mampu diimplementasikan secara baik di lapangan.  

Aktivitas Kuliah Kerja Perencanaan Hongkong-Shenzen 2010

#diary1
Hari Senin, 2 Agustus 2010
Aktivitas: survey downtown, daerah sekitar Shanshui Trends Hotel, Shenzen
        Yang menarik dari amatan survey daerah sekitar ini adalah bangunan mixed use serta vertical living, yang mendominasi seluruh wilayah.  Seluruh bangunan merupakan bangunan bertingkat lebih dari tiga lantai yang digunakan tidak hanya untuk satu fungsi saja. Dalam satu bangunan misalnya, lantai paling bawah digunakan untuk fungsi perdagangan, kemudian lantai kedua untuk kantor, lantai ketiga dan seterusnya biasanya digunakan untuk perumahan.
        Selama survey, kami menemukan bahwa peraturan yang diterapkan di Shenzen cukup ketat, terutama dalam mengambil gambar (foto). Saat kami ingin memotret apartemen di belakang hotel, kami sempat diusir oleh satpam penjaga apartemen bahkan setelah kami menjelaskan gambar tersebut dibutuhkan untuk survey kuliah kami, satpam tersebut pada akhirnya tetap tidak memperbolehkan kami mengambil gambar.

#diary2
Aktivitas: survey daerah Lou Hu Mall, Shenzen
Suasana Lou Hu Mall, Shenzen
Hal paling menonjol yang kami amati adalah: betapa baik kualitas dan kuantitas ruang publik yang ada di sana. Baik kuantitasnya karena dari segi jumlah dan luasannya begitu banyak dan besar. Tiap jalan disediakan ruang khusus bagi pejalan kaki dan sepeda. Baik kualitasnya karena ruang publik tersebut sangat terawat seperti Lou Hu Mall ini, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan sibuk yang sudah terintegrasi baik dengan jaringan transportasi (MTR).
        Pada basement terdapat stasiun MTR, kemudian diatasnya digunakan untuk bangunan mall serta area ruang publik yang luas, yang menarik, lantai paling atas digunakan sebagai tempat parkir dan masih terdapat beberapa pertokoan. Disini kami kesusahan untuk mendapatkan data dari wawancara langsung karena kendala bahasa. Walaupun banyak terdapat polisi patroli yang lalu lalang di daerah sekitar, namun karena kebanyakan penduduk Shenzen kurang menguasai Bahasa Inggris, jadi proses wawancara sulit digunakan.

#diary3
Hari Selasa, 3 Agustus 2010
Aktivitas: pengalaman menaiki cable car di Ngong Ping serta tram di The Peak, Hongkong
Cable Car di Hong Kong
        Cable car merupakan salah satu sarana transportasi wisata di Hongkong sekaligus salah satu sarana untuk menikmati landscape Hongkong dari udara. Cable car ini terbentang dari Tung Chung hingga Ngong Ping, dengan tujuan akhir menikmati patung buddha terbesar dan pertunjukan teater.
       Menikmati Hongkong dari udara menggunakan cable car ini seolah-olah sudah dapat menikmati seluruh daerah Hongkong, karena panjangnya jalur cable car ini hingga melewati antar pulau. Penggunaan lahan di Hongkong dari udara sangat terlihat jelas bahwa lahan terbangunnya didominasi di area pinggir pantai yang landai, serta terlihat area reklamasi pantai yang digunakan sebagai bandara internasional Hongkong. Masih banyak area tidak terbangun yang dibiarkan karena topografinya yang curam dan sulit dimanfaatkan. Namun, ada cara kreatif Hongkong untuk memanfaatkan bukit curam tersebut, salah satunya adalah dengan membangun patung buddha terbesar di salah satu puncak bukit di Ngong Ping dan menjadikannya sebagai tempat wisata tujuan akhir dari cable car ini.
      Cara lain menikmati puncak bukit di Hongkong adalah dengan menaiki tram yang terdapat di The Peak. The Peak adalah salah satu tempat wisata terkenal di Hongkong dimana dari puncak bukitnya, kita dapat melihat kota Hongkong dari atas yang begitu indah dan tertata. Menaiki tram menjadi sebuah pengalaman menarik selama perjalanannya karena jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang biasa-biasa saja, namun jalan menanjak yang curam, dengan kecepatan tinggi, seakan-akan menaiki ‘roller coaster’.


#diary4
Hari Rabu, 4 Agustus 2010
Aktivitas: kunjungan di University of Hongkong dan Hongkong Planning and Infrastructure Gallery
Kuliah Umum di HK University
      Kunjungan di University of Hongkong sangat menarik karena kami diperkenalkan mengenai beberapa program master yang berhubungan dengan program studi kami, yaitu Housing Management, Urban Planning, dan Urban Design.  Selain itu kami juga mendapatkan kuliah yang menarik dan sarat ilmu dari Mr. Anthony Yeh mengenai penggunaan lahan di Hongkong, keunikan dan juga integrasinya dengan transportasi.
Kunjungan di Hongkong Planning and Infrastructure Gallery menjadi pengalaman tak terlupakan bagi kami. Karena begitu banyak cara kreatif yang mengagumkan untuk menginformasikan rencana tata ruang Hongkong kepada masyarakatnya. Seluruh tata ruang Hongkong disajikan dalam beberapa  display menarik yang ‘eye catching’ dan simpel, menjadikan rencana tata ruang mudah dipahami masyarakat dan menarik partisipasi langsung masyarakat.
Salah Satu Display Menarik di HKIPC

PEMBELAJARAN KEGIATAN TUNGKU HEMAT ENERGI YAYASAN DIAN DESA

A.  Pembelajaran Kegiatan Tungku Hemat Energi

Kegiatan Tungku Hemat Energi ini telah dijalankan oleh Yayasan Dian Desa sejak tahun 1990. Kegiatan Tungku Hemat Energi dikembangkan di desa-desa yang masih menggunakan kompor tungku sebagai alat memasak. Kompor tungku yang biasa digunakan masyarakat desa untuk memasak merupakan kompor tungku tradisional yang terdiri dari tiga lubang kuali akan tetapi tidak memiliki alat pengeluaran asap (cerobong) sehingga asap hanya mengepul di ruangan dapur. Selain itu tungku tradisional ini masih memiliki celah di lubang kuali sehingga panas api tungku dapat keluar dan proses pemasakan kurang sempurna karena memakan banyak waktu untuk memasak.
Inti dari Kegiatan Tungku Hemat Energi ini adalah untuk menyediakan tungku yang hemat energi dan bersih kepada masyarakat. Lebih hemat energi karena tungku ini memiliki penutup celah pada lubang kuali sehingga panas tidak akan keluar dan proses pemasakan lebih cepat, lebih sedikit menghabiskan kayu bakar. Lebih bersih karena tungku ini memiliki cerobong asap yang langsung dihubungkan keluar ruangan sehingga asap hasil pemasakan tidak mengotori ruangan dapur. Dampak positif lain yang akan dirasakan jangka panjang adalah terhindarnya proses penggundulan hutan serta terjaminnya kesehatan masyarakat. Proses penebangan pohon di hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu akan dapat dikurangi karena kayu sebagai bahan bakar tungku yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Selain itu penyakit paru-paru dan saluran pernafasan yang banyak menjangkiti masyarakat desa dapat terhindarkan dengan adanya dapur yang lebih bersih dan bebas asap.

Gambar Tungku Hemat Energi Yayasan Dian Desa


Proses yang dilakukan Yayasan Dian Desa untuk menyebarluaskan tungku hemat energi ini adalah sebagai berikut:
1.      Sosialisasi dan promosi kegiatan tungku hemat energi serta kegiatan dapur sehat melalui poster dan pembagian kaos
2.      Pemberian pelatihan bagi warga untuk pembuatan tungku hemat energi
3.      Pembuatan contoh tungku hemat energi (1 contoh)
    
     Dalam kegiatan tungku hemat energi ini, kami diajak oleh Yayasan Dian Desa ke Pedukuhan Gunungrejo, Kelurahan Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo. Kegiatan tungku hemat energi di Pedukuhan Gunungrejo sudah dimulai sejak tahun 2005. Sejak tahun 2005, Yayasan Dian Desa telah bekerjasama dengan Pedukuhan Gunungrejo dalam pembuatan gula merah. Sebagai penghasil gula merah, masyarakat pedukuhan Gunungrejo menggunakan tungku tradisional untuk mengolahnya. Hal ini menjadi kurang efektif karena waktu pengolahan yang cukup lama serta timbulnya banyak asap akibat proses pemasakan yang memakan waktu hingga enam jam. Inilah yang memberikan ide bagi Yayasan Dian Desa untuk menciptakan sebuah tungku yang lebih hemat energi dan lebih bersih.
     Pada awalnya, tungku yang diciptakan oleh Yayasan Dian Desa adalah tungku yang terbuat dari tanah liat (gerabah). Namun, karena membutuhkan waktu yang banyak dalam pembuatannya (proses mencetak dilakukan dengan tangan sehingga memakan banyak waktu), juga bahannya yang mudah pecah tidak bertahan lama akhirnya bahan baku tanah liat diganti dengan semen. Bahan baku semen lebih tahan lama, serta pembuatannya lebih mudah dan cepat karena dapat dicetak menggunakan cetakan. Pada akhirnya saat ini tungku hemat energi dengan semen inilah yang dikembangkan di Pedukuhan Gunungrejo.
     Kegiatan tungku hemat energi ini kurang berjalan dengan baik di Pedukuhan Gunungrejo. Hanya sedikit penduduk yang mau membeli bahan dan membuat tungku hemat energi ini. Dari hasil wawancara kami dengan masyarakat Pedukuhan Gunungrejo, beberapa hal yang menjadi penyebab enggannya masyarakat membuat tungku hemat energi ini adalah:
1.      Modal mahal
Harga tungku hemat energi tiga kali lebih mahal daripada harga tungku tradisional. Harga tungku tradisional (yang biasa disebut tungku kulur) berkisar Rp 60.000,00 - Rp 65.000,00, sedangkan tungku hemat energi membutuhkan biaya Rp 200.000,00 untuk modal, selain itu warga harus merancang sendiri tungku tersebut.
2.      Lebih sulit untuk memanggang kayu basah
Musim yang tidak menentu akhir-akhir ini memaksa warga masyarakat untuk memasak, bahkan terkadang terpaksa harus menggunakan kayu basah. Tungku tradisional biasanya dapat digunakan untuk memasak dengan jenis kayu apapun, bahkan dalam keadaan basah. Hal inilah yang menjadi salah satu keluhan warga karena tungku hemat energi tidak dapat memasak dengan menggunakan kayu basah.
3.      Kesadaran masyarakat untuk kepentingan jangka panjang belum ada
Selama ini masyarakat lebih mementingkan kepentingan jangka pendek, bagaimana untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar (makan) hari ini tanpa memikirkan dampak panjangnya. Oleh karena itu, masyarakat Pedukuhan Gunungrejo lebih memilih tetap menggunakan tungku tradisional yang lebih murah dan tidak perlu repot-repot membuat sendiri.
4.      Tungku hemat energi kurang bisa menyesuaikan kebiasaan masyarakat
Kebiasaan masyarakat pada saat memasak adalah memastikan api dalam keadaan cukup besar sehingga proses pemasakan lebih cepat. Akan tetapi tungku hemat energi tidak memungkinkan hal tersebut. Lubang tungku hemat energi ditutup agar panas tidak keluar tungku sehingga api tidak dapat terlihat dari luar. Hal ini membuat warga berpendapat tungku hemat energi tidak mengeluarkan api sehingga warga kurang menyukainya. Selain itu, tungku hemat energi menjadi lebih sulit dihidupkan ketika satu atau dua hari tidak digunakan memasak.

B.   Evaluasi Kegiatan Tungku Hemat Energi

     Evaluasi kegiatan tungku hemat energi dari Yayasan Dian Desa yang dilaksanakan di Pedukuhan Gunungrego, Kelurahan Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo ini didasarkan pada tiga kriteria: Efektifitas, Sustainability, dan Replicability.

1.      Efektifitas
  • Efektifitas program mengukur kesesuaian target, kemanfaatan program menghadapi persoalan yang ada, serta mengukur ada tidaknya penyimpangan program yang berdampak pada munculnya dampak sampingan.
  •  Target  telah sesuai, yaitu masarakat menengah ke bawah di daerah pedesaan yang masih menggunakan kompor tradisional.
  • Dapat mengatasi persoalan lingkungan (dapur lebih bersih dan sehat), dampak jangka panjang dapat menghemat energi dan menjaga keberadaan hutan sekeliling.
  •  Harga tungku yang relatif mahal, menyebabkan masyarakat enggan menggunakan tungku tersebut sehingga proses penyebarluasan tungku kurang berhasil.



2.      Sustainability
Sustainability program mengukur keberlanjutan program di komunitas tersebut, hingga terjadi multiplier effect, transfer of knowledge, serta pengembangan kapasitas komunitas.
·      Pada Pedukuhan Gunungrejo, proyek ini berlangsung hingga dua putaran (putaran pertama terdapat dua Kepala Keluarga yang bersedia membuat tungku hemat energi, dan pada putaran kedua terdapat tujuh KK yang membuat). Namun, untuk selanjutnya proyek ini terhenti akibat kurang interest-nya warga.
·      Multiplier effect, transfer of knowledge, dan pengembangan komunitas kurang tampak keberhasilannya pada kegiatan tungku hemat energi di Pedukuhan Gunungrejo. Namun, kegiatan tungku hemat energi ini tidak hanya berjalan di Pedukuhan Gunungrejo. Banyak wilayah lain yang juga menerima kegiatan tungku hemat energi ini dan memetih hasil yang memuaskan, contohnya di Kecamatan Samigaluh. Kegiatan tungku hemat energi di Kecamatan Samigaluh sangat berhasil hingga dapat meningkatkan perekonomian warga (dari hasil penjualan tungku hemat energi buatan sendiri, serta penjualan olahan aren dengan menggunakan tungku hemat energi) serta berhasil menjadi percontohan bagi daerah lain.

3.      Replicability
Replicability program mengukur kemungkinan ditularkannya program di tempat lain serta situasi/ kasus spesifik yang terjadi di wilayah program diterapkan.
  • Program tungku sehat hemat energi ini secara keseluruhan dapat ditularkan ke daerah lain. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya Kecamatan Samigaluh sebagai tempat percontohan pembuatan dan manajemen penjualan tungku hemat energi yang sering mendapat kunjungan dari daerah-daerah lain.
  •  Kasus spesifik yang terjadi di Pedukuhan Gunungrejo, Kecamatan Kokap yang membuat program tungku ini kurang berhasil dibandingkan dengan program tungku di Kecamatan Samigaluh adalah:


  1. Masyarakat Gunungrejo belum memiliki pola pikir untuk jangka panjang. Masyarakat belum memahami manfaat keberadaan tungku hemat energi ini untuk jangka panjang (menjaga kesehatan paru-paru penduduk, dan menjaga kelestarian hutan di Kulonprogo)
  2.  Masyarakat Gunungrejo merasa harga tungku hemat energi terlalu mahal dibandingkan tungku tradisional. Sedangkan Masyarakat Samigaluh tidak merasakan hal tersebut, bahkan merasa terbantu dengan adanya tungku sehat hemat energi.

Pengaturan Tata Guna Lahan (Land Use) Hong Kong

FUNGSI PENGATURAN TATA GUNA LAHAN DI HONG KONG


Pengaturan tata guna lahan, dalam hal ini termasuk dalam perencanaan kota (Town Planning) di Hong Kong memiliki tujuan menjamin tersedianya lingkungan hidup yang berkualitas, perkembangan fasilitas ekonomi yang baik, serta meningkatkan kesehatan, keselamatan, kenyamanan, dan kesejahteraan komunitas dengan cara pendampingan serta kontrol pembangunan dan tata guna lahan. Mengikuti prinsip pembangunan yang berkelanjutan, perencanaan kota Hong Kong diharapkan dapat menyediakan ruang yang nyaman, efisien, dan terorganisasi bagi masyarakat untuk bekerja dan berkehidupan.


Pengaturan tata guna lahan di Hong Kong menjadi sangat penting, karena lahan yang tersedia di Hong Kong sangatlah terbatas. Pemerintah Hong Kong ditantang untuk dapat menyeimbangkan kebutuhan dan permintaan tanah untuk perumahan, komersial,  industri, transportasi, rekreasi, konservasi, preservasi peninggalan bersejarah, dan kebutuhan masyarakat yang lain.

Gambar Hong Kong di malam hari

           
SISTEM PENGATURAN TATA GUNA LAHAN DI HONG KONG


Sistem tata guna lahan di Hong Kong mencakup strategi pengembangan pada level nasional dan berbagai jenis undang-undang dan rencana di tingkat distrik (lokal). Sistem tata guna lahan ini memberikan arahan pada persiapan rencana-rencana tersebut, yang ada dalam Hong Kong Planning Standards and Guidelines, serta aturan-aturan, prinsip, dan kebijakan publik yang berkaitan.

a.         Territorial Development Strategy
Territorial Development Strategy bertujuan untuk menyediakan sebuah kerangka kerja untuk memberikan arahan bagi pembangunan di masa depan serta penetapan undang-undang mengenai infrastruktur strategis di Hong Kong. Strategi ini juga digunakan sebagai dasar persiapan rencana lokal. Territorial Development Strategy yang dimiliki Hong Kong saat ini adalah “Hong Kong 2030”. Dalam Hong Kong 2030 di dalamnya terdapat visi dan strategi untuk memformulasikan kerangka kerja perencanaan Hong Kong hingga tahun 2030, yang dimulai sejak Oktober 2007. HK2030 mengadopsi sistem pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan akhirnya. Strategi yang direkomendasikan berfokus pada tiga tujuan utama untuk menyediakan lingkungan hidup yang berkualitas, peningkatan daya saing perekonomian, dan memperkuat hubungan dengan China yang dapat membantu Hong Kong mencapai tujuannya sebagai “Kota Dunia di Asia”.

b.        Statutory Plans
Terdapat dua tipe Statutory Plans yang disiapkan dan dipublikasikan oleh TPB (Town Planning Board) yang berada di bawah pengawasan TPO (Town Planning Ordinance) . Pada Tahun 2005, TPO mengubah alur proses pembuatan perencanaan dan prosedur penyetujuan rencana dengan menambah keterbukaan sistem perencanaan dan memperkuat kontrol aturan perencanaan di daerah rural, New Territories.
Tipe pertama yang digunakan adalah Outline Zoning Plan (OZP), yang mengatur zona tata guna lahan, parameter pengembangan, dan sistem jalan utama sebagai sebuah perencanaan mandiri. Area yang diatur dalam OZP antara lain, permukiman, komersial, industri, sabuk hijau, open space, pemerintahan/institusi/penggunaan komunitas atau tujuan lain yang spesifik. Ditambahkan pada tiap OZP, nota jadwal yang menunjukkan penggunaan yang diperbolehkan dalam sebuah zonasi tertentu dan atau penggunaan lain yang terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari TPB.
Tipe kedua adalah Development Permission Area (DPA) Plan. DPA Plan dipersiapkan untuk menyediakan kontrol rencana sementara dan arahan pengembangan untuk area pedesaan di New Territories hingga OZP baru yang lebih detail telah siap. DPA Plans mengindikasikan garis besar zonasi tata guna lahan yang juga dilengkapi oleh nota jadwal yang mengatur penggunaan layer 1 dan 2. DPA Plans efektif digunakan satu periode dalam jangka 3 tahun dan akan segera diganti oleh OZP.

c.         Departmental Plans
Garis besar Development Plans and Layout Plans adalah sebuah rencana administratif yang dipersiapkan dalam kerangka kerja Statutory Plans. Dengan skala yang lebih besar, Departmental Plans menunjukkan level parameter perencanaan yang lebih detail, contohnya: batas letak, lokasi titik akses dan footbridges, hal yang lebih spesifik mengenai pemerintahan dan penggunaan masyarakat untuk memfasilitasi koordinasi teknik sipil, penjualan tanah, dan penyediaan tanah untuk tujuan spesifik.
Pandangan publik adalah pertimbangan yang sangat esensial bagi formulasi strategi pembangunan dan persiapan rencana. Kesepakatan publik dalam forum publik, workshop, pameran,dsb kemudian menjadi komponen yang begitu penting dalam proses perencanaan.
d.        Hong Kong Planning Standards and Guidelines
Adalah sebuah referensi manual yang menyiapkan kriteria untuk menentukan skala, lokasi,  kebutuhan tata guna lahan dan fasilitas yang bervariasi. Ini digunakan dalam persiapan perencanaan kota sebagai alat untuk mengatur pembangunan.

e.         Urban Renewal and Regeneration
The Urban Renewal Authority (URA) adalah sebuah lembaga perundang-undangan yang berdiri pada tahun 2001 untuk mempercepat peremajaan daerah kota tua dan untuk menindaklanjuti the Urban Renewal Strategy yang diformulasikan oleh pemerintah. PlanD berkoordinasi dengan URA dibawah pengawasan undang-undang dalam perencanaan peramajaan kota dan proyek regenerasi untuk meningkatkan daerah kota lama.
Pemerintah telah meluncurkan review strategi peremajaan kota pada tahun 2008 dalam tiga tahap, yaitu: cara pandang baru, kesepakatan publik, dan pembangunan konsensus. Hal ini dijadwalkan akan selesai pada tahun 2010. Strategi tersebut akan menyediakan arahan hukum yang luas bagi peremajaan kota di Hong Kong.

f.         New Town and Development Areas
Sebuah pembangunan kota baru (new town) dalam skala besar di New Territories dimulai pada tahun 1970. PlanD’s District Planning Offices telah bekerja cukup erat dengan the Civil Engineering and Development untuk menyiapkan rencana dan meninjau kembali pembangunan kota baru tersebut. Saat ini, sembilan kota baru yang bernama Tsuen Wan, Sha Tin, Tuen Mun,
Tai Po, Yuen Long, Fanling/Sheung Shui, Tseung Kwan O,Tin Shui Wai and North Lantau berada dalam tahap pembangunan yang bervariasi dan akan mengakomodasi sekitar empat juta orang hingga pembangunannya telah selesai. Meskipun begitu, pembangunan kota baru dalam skala besar tidak akan dilihat lagi di masa mendatang. Pembangunan kota baru skala medium seperti Kai Tak dan pembangunan area baru di New Territories lebih disarankan.

g.         Planning Enforcement
The Town Planning Ordinance melengkapi the Planning Authority dengan kekuatan penegakan hukum melawan pembangunan yang tidak sesuai dengan undang-undang karena seluruh pembangunan harus mendapatkan izin dan tidak menyimpang dari rencana, atau dilindungi oleh izin rencana yang valid.
PlanD’s Central Enforcement and Prosecution Section bertanggung jawab mengambil alih penegakan hukum dan aksi penuntutan melanggar pembangunan tidak berizin. Kedua lembaga ini melakukan investigasi atas keluhan masyarakat atau departemen pemerintahan lain dan bertanggung jawab dalam patroli reguler untuk menemukan kemungkinan pembangunan tidak berizin.


LEMBAGA YANG MENGATUR TATA GUNA LAHAN DI HONG KONG
Terdapat beberapa lembaga yang memegang peranan penting dalam upaya pengaturan tata guna lahan di Hong Kong, yaitu:

1.    The Planning and Lands Branch of the Development Bureau
Lembaga ini bertanggung jawab atas kebijakan portofolio yang berkaitan dengan perencanaan, tata guna lahan, bangunan, dan peremajaan kota di Hong Kong.

2.    The Planning Department (PlanD)
Berada langsung di bawah Development Bureau, The Planning Department bertanggung jawab untuk formulasi, monitoring, dan peninjauan kembali tata guna lahan di tingkat nasional. PlanD juga mempersiapkan rencana lokal (distrik), rencana pembangunan area dalam the Hong Kong Planning Standards and Guidelines.

3.    Town Planning Board (TPB)
Lembaga ini bertanggung jawab dalam rencana perundang-undangan (Statutory Planning). The Town Planning berada di bawah Town Planning Ordinance dan dibantu oleh PlanD. TPB meninjau ulang persiapan draft rencana perundang-undangan. Terdapat dua komite yang berada di bawah TPB, yaitu The Metro Planning Commitee dan The Rural and New Town Planning Commitee. 


Kerjasama Antar Daerah dalam Pengelolaan Infrastruktur

A.        Model Kerjasama Antar Pemerintah Daerah


Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu perbincangan yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Pemerintah RI menyadari perlunya kerjasama dalam mempercepat pembangunan, hal ini nampak dari beberapa produk hukum Petunjuk dan Pedoman kerjasama sebagai berikut :
  1. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
  2. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah
  3. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah dan
  4. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor : 50 Tahun 2007 tentang Kerjasama antar Daerah.

Alasan dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.
3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan.
4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.
5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.
6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan.
7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh.

B.                 Bentuk dan Metode Kerjasama
Di masa mendatang, karena kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan maka harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan menginstitusionalisasikan kerjasama antara daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya.
Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi
(1) intergovernmental service contract
(2) joint service agreement, dan
(3) intergovernmental service transfer (Henry, 1995).
Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, infrastruktur transportasi umum, pemerintahan dan keuangan public.
Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu
(1) Apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau
(2) Apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak, melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut.
Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.

C.                Prinsip Kerjasama
Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara luas. Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh.
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (Edralin, 1997). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu:
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh.
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut.
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.

A.                Kerjasama Antar Daerah di Indonesia

1.                  Permasalahan Transportasi Indonesia
Ledakan penduduk selalu menjadi isu yang dikaitkan dengan berbagai permasalahan yang ada pada suatu wilayah. Hal ini dikarenakan ledakan penduduk akan meningkatkan tingkat kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan transportasi. Penduduk akan melakukan mobilitas setiap waktunya, mobilitas yang dimaksud tidak hanya sekedar perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, namun mobilitas disini lebih ditekankan pada mobilitas yang dimaksudkan adalah pergerakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan hidup. Manusia akan pergi ke suatu titik dimana ia akan mendapatkan kebutuhannya yang  berada di beberapa lokasi berbeda sehingga diperlukan alat transportasi. Transportasi menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia sehingga dibutuhkan sebuah sistem pelayanan transportasi yang baik untuk dapat senantiasa melayani kebutuhan manusia. Namun pada kenyataannya, masih ada berbagai permasalahan transportasi yang dapat menghambat aktivitas manusia.
Permasalahan transportasi baik darat, laut, dan udara secara umum hampir sama, yaitu kurangnya sarana dan prasarana transportasi dibandingkan dengan kebutuhannya, serta buruknya kondisi sistem transportasi Indonesia. Dalam periode 5 tahun (19962000) jumlah perusahaan pelayaran di Indonesia meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah 568 perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5 % p.a). Sementara kekuatan armada pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-rata 11.3 % p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik sedikit, yaitu dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode tersebut, volume perdagangan laut tumbuh 3 % p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945 ton (1996) menjadi 417,287,411 ton (2000), atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam waktu lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh kapasitas perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera Indonesia), bahkan untuk pelayaran domestik (antar pelabuhan di Indonesia). Pada tahun 2000, jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307 DWT meraup muatan domestik sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.
Saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk. Perusahaan pelayaran nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan internasional, karena kelemahan di semua aspek, seperti ukuran, umur, teknologi, dan kecepatan kapal. Di bidang muatan internasional (ekspor/impor) pangsa perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3 % to 5%, dengan kecenderungan menurun. Proporsi ini sangat tidak seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada pelayaran nasional.
Dalam perkembangan jasa transportasi udara, Indonesia telah mengikuti prinsip dan teknik pemanduan angkutan udara internasional yang disusun ICAO (International Civil Aviation Organization). Implikasi pelaksanaan ketentuan internasional terhadap aspek keselamatan penerbangan adalah pengelola bandara harus memenuhi persyaratan pembangunan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta pelayanan pemanduan navigasi penerbangan (Air Traffic Services/ATS) yang meliputi Aeronautical Flight Information Services (AFIS), Aerodrome Control (ADC), Approoach Area (APP), dan Area Control Centre (ACC).
Sampai saat ini, belum semua bandara di Indonesia berstandar keselamatan penerbangan dan pengoperasian fasilitas bandara internasional, hanya 7 dari 187 bandara. Dari 187 bandara hanya 10 bandara yang dapat menarik keuntungan dari jasa transportsai udara, sisanya masih merugi. Oleh karena itu meskipun dengan UU otonomi daerah, bandara di daerah diserahkan pengelolaannya pada pemerintah daerah setempat belum dapat dilaksanakan karena besarnya beban investasi dan operasionalnya.
Untuk itu, solusi pengelolaan yang tepat bagi daerah yang belum dapat memperbaiki sistem transportasi akibat besarnya biaya adalah dengan kerjasama antar daerah. Kerjasama antar daerah ini dilakukan untuk ‘membagi beban’ daerah satu dalam pengembangan sistem transportasi baik dari segi ekonomi maupun sosial dengan daerah lainnya. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai contoh model kerjasama penyediaan infrastruktur transportasi yang sudah berjalan di Indonesia.

2.                  Contoh Kerjasama Antar Daerah di Indonesia
Kerjasama antar daerah menjadi isu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah karena pemenuhan kebutuhan masyarakat di daerah tidak semuanya dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif dalam batas jurisdiksi wilayah administratif satu daerah semata. Otonomi daerah telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial yang semakin tinggi dan membuat jarak yang semakin melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah fungsional. Hubungan sosial dan ekonomi secara fungsional seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah administratif satu daerah otonom.

2.1              Kerjasama Pengelolaan Transportasi Darat
Kerja sama pengelolaan terminal Purabaya, yakni terminal regional milik Pemerintah Kota Surabaya yang terletak di desa Bungurasih Kabupaten Sidoarjo, merupakan pendekatan kerjasama Pemerintah Kota Surabaya dan Pmerintah Kabupaten Sidoarjo. Perundingan yang dilakukan kedua belah pihak mendapatkan fasilitas penuh dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang berhasil mencapai kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama ini ditungkan dalam Surat Gubernur, dimana pemda Kota Surabaya memperoleh wewenang untuk mengelola terminal regional di Bungurasih, Kabupaten Sidoarjo. Kerjasama ini menjembatani implementasi konsep pengembangan regional Gerbangkartosusilo dan menggantikan lokasi terminal regional lama milik Pemerintah Kota Surabaya di Joyoboyo.
Kerjasama lainnya dalam pengelolaan terminal adalah Terminal Landungsari yang merupakan terminal regional milik Pemerintah Kota Malang yang berlokasi di desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang secara geografis terletak lebih kurang 3 km sebelah barat batas wilayah Kota Malang. Kesepakatan untuk mengembangkan terminal regional Landungsari secara kolaboratif dicapai oleh Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang pada tanggal 11 November 1991.
Dalam penggunaan pendapatan dan pembagian hasil, seperti yang tercantum pada undang-undang perjanjian kerjasama yakni :
a.       40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kota Malang
b.      40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kabupaten Malang
c.       20 % pendapatan digunakan untuk biaya operasional
Selain itu, Pemerintah Kota Malang juga berhak mengelola terminal Landungsari dan melakukan pemungutan atas obyek retribusinya dan penerapan tarif retribusi menggunakan peraturan Daerah Kota Malang. Setiap bulannya Pemerintah Kabupaten Malang selalu mendapatkan laporan realisasi pendapatan dari Pemerintah Kota Malang berdasarkan bukti setoran ke Kas Daerah.
Selain itu, pembangunan jalan tol Belmera (Tanjung Morawa – Belawan) juga tidak terlepas dari kerjasama Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Deli Serdang dan Pemerintah Provinsi sumatera Utara walaupun pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan tertentu.


2.2              Kerjasama Pengelolaan Transportasi Udara
Di daerah Sumatera Utara, dalam usaha pelayanan transportasi udara dilakukan kerjasama untuk mengaktifkan kembali Pelabuhan Udara Pinongsori yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pelabuhan Udara Aek Godang yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Kerjasama ini meliputi Pemerintah Kota Sibolga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, Pemerintah Kota Padang Sidempuan, Pemerintah Kabupaten MAndailng Natal. Kedua pelbuhan udara ini sebelumnya  kurang difungsikan karena pemerintah daerah di mana pelabuhan udara terletak mengalami kesulitan dalam penyediaan dana operasional. Dengan adanya kerjasama dalam pendanaan pengelolaan Pelabuhan Udara Pinangsori di Tapanuli Tengan dan Lapangan Terbang Aek Godang di Tapanuli Selatan telah membawa keuntungan bersama dan dana pengelolaan dapat diatasi.

Beberapa contoh kerjasama regional dalam bentuk kelembagaan:
1.    Daerah yang berdekatan dalam satu wilayah provinsi
·      Kartomantul,
·      Barlingmascakeb,
·      Subosukawonosraten,
·      Sapta mitra pantura (Sampan),
·      Pakujembara (dalam tahap rintisan),
·      Germakertosusilo (sebagai pengembangan Gerbangkertosusilo)
2.    Antar wilayah provinsi
·      Ratubangnegoro (Jatim-Jateng),
·      Karisma Pawirogo (Jatim- Jateng),
·      Pawonsari (Jatim-Jateng-DIY) :
Pelaksanaan pembangunan daerah yang diorientasikan pada pengembangan suatu wilayah, dalam perkembangannya dihadapkan pada permasalahan yang mengharuskan dilakukannya kerjasama dengan daerah lain. Adanya permasalahan perbatasan antar kabupaten/  propinsi dan potensi sumber daya alam yang belum dikelola serta didukung oleh adanya UU No. 22 tahun 1999, melatarbelakangi adanya kerjasama antara kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunungkidul (KAD Pawonsari) yang bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
Di kabupaten Gunungkidul instansi perhubungan merupakan suatu dinas tersendiri yaitu Dinas Perhubungan sedangkan di Wonogiri hanya merupakan Subdin Perhubungan yang merupakan bagian dari Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya (DPPSB). Adanya perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan sistem penganggaran, yang berujung pada perbedaan prioritas di masing-masing kabupaten. Sehingga sampai saat belum ada trayek perbatasan antara Kabupaten Wonogiri-Gunungkidul.
Peluang ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menggunakan kendaraan plat hitam untuk angkutan jarak pendek. Disatu sisi hal ini menguntungkan masyarakat karena terlayani kebutuhan pelayanan angkutan tetapi disisi lain juga merugikan karena kendaraan plat hitam tidak bisa dikenai peraturan tarif, sehingga tarif angkutan di perbatasan menjadi mahal dan tidak terkendali. Walaupun melanggar peraturan, angkutan plat hitam ini tidak ditindak mengingat hal diatas. Untuk angkutan jarak jauh AKAP (antar  kota antar propinsi) pengusaha bus tanpa melihat konteks KAD Pawonsari, memberikan pelayanan rute Pawonsari, yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pergi ke Yogyakarta. Bagi masyarakat kabupaten Pacitan trayek ini sangat menguntungkan. Apabila dulu Pacitan- Yogyakarta (Pacitan-Wonogiri-Solo-Yogyakarta) ditempuh dalam waktu 5 jam, sekarang dengan adanya trayek ini (Pacitan-Wonogiri-Yogyakarta) ditempuh dalam waktu 2-3 jam.
Di dalam KAD Pawonsari belum adanya kewenangan pada Sekretariat KAD Pawonsari untuk memaksa satu kabupaten tertentu untuk menjalankan kesepakatan KSO secara optimal. Walaupun sudah ada draft surat kuasa dari Bupati Pacitan dan Bupati Gunungkidul untuk membuat/melaksanakan kebijakan dalam koridor kerjasama antar daerah Pawonsari.  Akan tetapi hanya Bupati Gunungkidul yang bersedia menandatangani surat kuasa tersebut. Untuk menghormati kesetaraan dan menghormati kewenangan masing-masing daerah, Sekretariat KAD Pawonsari hanya diberi wewenang melakukan koordinasi. Meskipun demikian Sekretariat dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada para Bupati mengenai perkembangan pelaksanaan kerjasama yang telah disepakati. Sekretariat juga dapat mengajukan pertanyaan kepada Bupati mengenai proses perkembangan kesepakatan kerjasama.
Untuk yang terakhir belum pernah dilaksanakan karena yang sudah dilaksanakan selama ini Sekretariat hanya mengundang Dinas yang terkait dengan adanya KSO untuk dimintai laporan tentang hasil dari kerjasama operasional tersebut. Dalam penyelesaian masalah, KAD Pawonsari seringkali terbentur pada birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten, Propinsi dan Pusat, terutama pada peraturan/perundang-undangan yang menghambat penyelesaian masalah. Misalnya permasalahan angkutan perbatasan terhambat oleh PP 41/1993 tentang Angkutan Jalan, yaitu penetapan ijin trayek dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dan harus diusulkan oleh 2 kabupaten yang berbatasan.
Keuntungan yang diperoleh dari lembaga ini adalah meningkatnya kelancaran transportasi di wilayah Pawonsari, meningkatnya pelayanan angkutan bagi masyarakat Wonogiri dan Pacitan yang melakukan perjalanan ke Yogyakarta dan sebaliknya, rute menjadi lebih pendek. Sementara kekurangannya adalah adanya perbedaan pengalokasian dana sebagai biaya pendukung  program. Hal ini terkait dengan peraturan yang mengharuskan dua daerah yang berbatasan bersama-sama mengusulkan trayek perbatasan ke pusat untuk diterbitkan ijin trayeknya.